akarta Selama ini Soekarno dan M Hatta dikenal sebagai pahlawan proklamator. Menurut pengamat hukum tata negara, Jimly Asshiddiqie, proklamator tidak identik dengan pahlawan nasional. Karena itu perlu dilakukan langkah agar keduanya benar-benar ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
"Dari segi leterlek UU No 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, Bung Karno memang dianggap pahlawan nasional. Kalau nggak mau repot ya selesai masalah. Tapi kalau pemimpin mau repot karena mau meluruskan sejarah, maka bisa dikaji kembali bahwa pahlawan proklamator tidak identik dengan pahlawan nasional," terang Jimly dalam perbincangan dengan detikcom, Selasa (5/6/2012).
Dia menjelaskan ketika gelar pahlawan proklamator diberikan tahun 1986 tidak ada dasar hukumnya. Gelar itu kemudian baru dilegalisasi melalui UU 20/2009, di mana definisi pahlawan nasional menjadi diperluas.
"Kalau tidak mau repot sudah selesai. Tapi tokoh sebesar Soekarno dan Hatta tidak boleh berhenti ke sikap malas tidak mau repot. Ini ada masalah yang belum beres, yang belum selesai. Tahun 1986 itu pahlawan proklamator buah dari kompromi politik, tidak genuine sebagai penghargaan," tutur mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini.
Selain itu, lanjutnya, penghargaan pada Bung Karno itu dilihat dari kacamata dwitunggal dengan Bung Hatta. "Jadi dalam tanda petik kepahlawanan Bung Hatta dan Bung Karno direduksikan maknanya ke konsepsi dwi tunggal, jadi terus bersama-sama," sambung dia.
Karena terkungkung dalam konsep dwi tunggal, maka nama Soekarno selalu melekat dengan Hatta. Alhasil nama bandara di Cengkareng adalah Soekarno-Hatta. Selain itu untuk nama jalan juga tidak digunakan Jalan Soekarno, namun Jalan Soekarno-Hatta.
"Selain itu ada masalah dalam pengertian praktis, karena Bung Karno pernah diberhentikan oleh MPRS pada 1967 karena dikaitkan dengan G 30 S. Berdasar Tap MPRS No 3 tahun 1967, proses hukum Bung Karno diselesaikan secara hukum menurut ketentuan hukum dan keadilan," jelas Jimly.
Pemberhentian itu mengasumsikan Soekarno melakukan pelanggaran hukum. Namun kemudian di bawah pemerintahan Soeharto yang mengusung mikul dhuwur mendem jero, proses hukum Soekarno tidak dilangsungkan. Dengan keluarnya Tap MPR Nomor 1 Tahun 2003, maka Tap MPRS 33/1967 tidak perlu ditindaklanjuti.
"Saya yang ikut merumuskan usulan mengenai isi Tap MPR No 1 Tahun 2003, yang menyatakan Tap MPRS 33/67 tidka perlu ditindaklanjuti karena selesai. Tidak perlu ditindaklanjuti karena orangnya sudah meninggal. Tapi ada aspek politik yang belum selesai, ada yang ganjel di catatan sejarah," tutur Jimly.
Menurutnya, rehabilitasi Bung Karno jauh lebih penting ketimbang pemberian grasi kepada Corby. Sebab hal itu bisa meluruskan sejarah sekaligus merekonsiliasi perbedaan pendapat yang pernah muncul terkait Hari Pancasila 1 Juni.
"Saya kira pemerintah ada ada kesempatan untuk menetapkan, mengukuhkan Bung Karno jadi pahlawan nasional dan rehabilitasi namanya. Saya sarankan jangan berpikir tidak mau repot, harus mau repot," ucap anggota Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, ini.
Untuk menjadi pahlawan nasional memang bisa diusulkan oleh masyarakat di daerah. Namun mengingat Bung Karno dan Bung Hatta adalah orang penting di negeri ini pada masa lalu, maka perlu langkah khusu.
"Masa mau dengan proses biasa. Tapi soal teknis bisa dibicarakan, yang penting semangat untuk bisa mengembalikan catatan sejarah," kata Jimly.
(vta/fjp)


0 komentar:
Posting Komentar